Temukan Kisah Penyintas Skizofrenia Katatonik, Merasakan Tubuhku Seperti Milik Orang Lain membuka tabir pengalaman kelam

Senin, 26 Mei 2025 oleh aisyah

Ketika Tubuh Bukan Lagi Milik Kita: Kisah Perjuangan Melawan Skizofrenia Katatonik

Bayangkan sebuah pagi di mana Anda terbangun, namun tubuh Anda terasa asing. Tidak ada yang bisa mempersiapkan Anda untuk pengalaman mengerikan ini. Inilah yang dialami oleh Stephania Shakila Cornelia, seorang penyintas skizofrenia katatonik.

Sekitar tahun 2018, Thepi, begitu ia akrab disapa, merasakan ada sesuatu yang sangat tidak beres. Ia tidak bisa menggerakkan lidahnya. Tubuhnya kaku seperti patung. Ia mencoba berteriak, memanggil namanya sendiri, namun tak ada suara yang keluar. Ia terbaring tak berdaya, terperangkap dalam tubuhnya sendiri. Selama hampir satu jam, ia mengalami kelumpuhan total, namun kesadarannya tetap terjaga.

"Rasanya sulit dijelaskan. Tiba-tiba saja tubuhku berhenti berfungsi. Kaku, tidak bisa bicara, tidak bisa bergerak. Seperti stroke, tapi ternyata bukan," ungkap Thepi kepada CNNIndonesia.com, menceritakan pengalamannya sebagai penyintas skizofrenia katatonik.

Temukan Kisah Penyintas Skizofrenia Katatonik, Merasakan Tubuhku Seperti Milik Orang Lain membuka tabir pengalaman kelam

Setelah serangkaian pemeriksaan di Sanatorium Dharmawangsa, dokter mendiagnosisnya dengan skizofrenia katatonik. Diagnosis ini membuatnya terkejut dan takut. Kelumpuhan yang ia alami bukanlah masalah saraf motorik, melainkan gangguan mental yang memengaruhi fisik, yang disebut kinetik.

Gejala yang dialami Thepi semakin parah. Tangannya tremor hebat, tubuhnya kaku, dan pikirannya berkabut. "Tremornya parah sekali. Aku sampai kesulitan menulis dan makan. Tapi aku tetap memaksakan diri untuk bekerja," kenangnya.

Thepi berusaha menjalani hidup senormal mungkin. Namun, keputusannya untuk tetap bekerja ternyata menjadi bumerang. Kantor menjadi tempat di mana episode-episode tak terkendali muncul.

Tertawa Tanpa Sebab dan Paranoia yang Mencekam

Suatu hari, Thepi tiba-tiba tertawa terbahak-bahak selama dua jam tanpa henti. Padahal, tidak ada yang lucu atau sedang dibicarakan. Ia hanya tertawa di tengah kesibukan orang-orang di kantor. "Rasanya capek sekali. Aku tertawa sampai keringat dingin. Seperti terjebak di tubuh sendiri," ujarnya.

Selain itu, Thepi juga mengalami paranoia yang hebat. Ia merasa diawasi, diikuti, dan diintai. Ketakutan ini membuatnya harus berpindah-pindah kosan hingga tujuh kali dalam waktu dua bulan.

"Aku merasa seperti ada CCTV di kamar, seperti ada yang memasang kamera. Sampai tidak bisa tidur. Akhirnya pindah kos, terus pindah lagi, dan lagi," jelasnya.

Alih-alih Dukungan, Keluarga Justru Mengira 'Guna-guna'

Merasa lelah dengan semua yang dialaminya, Thepi memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ia berharap bisa mendapatkan ketenangan dan dukungan dari keluarga.

Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Keluarga malah mengira bahwa Thepi terkena guna-guna atau santet. Sebagai keluarga Katolik yang konservatif, pemahaman tentang skizofrenia masih sangat minim. Mereka lebih mengenal istilah 'guna-guna' daripada 'gangguan neurotransmitter'.

Alih-alih mendapatkan perawatan medis, Thepi justru dibawa ke seorang rubiah untuk menjalani pengobatan spiritual. "Aku tidak tahu ya, tapi waktu itu aku merasa memang di dalam diriku ada orang lain," katanya.

Tentu saja, pengobatan spiritual ini tidak memberikan hasil apa pun. Kondisi Thepi justru semakin memburuk.

Titik Balik di Rumah Sakit

Setelah berbulan-bulan menjalani pengobatan spiritual tanpa hasil, keluarga akhirnya menyerah dan membawa Thepi ke rumah sakit. Selain kondisi psikisnya yang semakin memburuk, kondisi fisiknya juga semakin lemah. Percobaan bunuh diri yang berulang membuat tubuhnya semakin rapuh.

"Di rumah sakit, dokter menjelaskan perlahan dengan sabar bahwa skizofrenia adalah gangguan medis, bukan sihir, bukan santet," kata Thepi.

Dari sinilah, hidup Thepi mulai berubah. Ia kembali ke Jakarta dan memulai terapi rutin serta menjalani pengobatan dengan disiplin. Setelah dua tahun, dosis obatnya dikurangi secara bertahap, lalu dihentikan sepenuhnya.

"Tapi aku masih terapi enam bulan sekali untuk jaga-jaga. Aku juga diajarkan teknik pernapasan, cara mengontrol diri, dan yang paling penting, *support system*," jelasnya.

Pada tahun 2022, Thepi melahirkan anak pertamanya. Namun, kebahagiaan ini juga membawa tantangan baru. Ia mengalami *baby blues* yang membuatnya kembali mendengar bisikan-bisikan dan mencoba bunuh diri. Untungnya, ia berhasil keluar dari masa sulit itu.

Kini, Thepi tinggal di Bandung bersama anak dan ibunya. Sebagai seorang ibu tunggal, hari-harinya penuh tantangan, namun juga penuh keteguhan. "Anakku tumbuh sehat. Aku pelan-pelan belajar jadi ibu. Ya, susah dijelaskan, sih. Tapi sekarang aku udah bisa bedain mana nyata mana enggak," ujarnya.

Meskipun sesekali gejala skizofrenia datang menyapa, Thepi tidak lagi tunduk padanya. "Beberapa bulan lalu sempat duduk di kamar mandi kontrakan teman, terus lihat simbol-simbol aneh kayak di iPhone. Tapi sekarang aku tahu itu bukan nyata. Dan aku bisa kontrol," kata Thepi.

Stephania Shakila Cornelia adalah seorang pejuang. Dalam sunyi yang tak bisa didefinisikan, ia belajar bicara pada dirinya sendiri. Dalam realita yang kabur, ia menulis ulang kenyataan. Dan dalam kegelapan yang menelan, ia menyalakan cahaya dari dalam.

"Semua tergantung dari *support system* dan keinginan dari diri sendiri," ujarnya mantap.

Hari ini, ia masih melukis, masih menulis, dan yang paling penting, ia masih bertahan. "Aku pernah hampir kehilangan semuanya. Tapi sekarang, aku memilih bertahan. Untuk anakku, untuk diriku," tutupnya.

Skizofrenia adalah kondisi kompleks yang membutuhkan pemahaman dan dukungan. Berikut adalah beberapa tips yang bisa membantu:

1. Edukasi Diri Sendiri - Pahami apa itu skizofrenia, gejalanya, dan bagaimana cara menanganinya. Semakin Anda tahu, semakin baik Anda bisa mendukung orang yang mengalaminya.

Misalnya, pelajari bahwa halusinasi dan delusi adalah bagian dari kondisi tersebut dan bukan sekadar "mengada-ada".

2. Bersikap Empati dan Sabar - Orang dengan skizofrenia seringkali mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Bersabarlah dan tunjukkan empati Anda. Hindari menghakimi atau menyalahkan mereka.

Dengarkan dengan penuh perhatian dan coba pahami perspektif mereka, meskipun sulit.

3. Ciptakan Lingkungan yang Mendukung - Lingkungan yang stabil dan aman sangat penting bagi orang dengan skizofrenia. Hindari situasi yang memicu stres dan kecemasan.

Pastikan mereka memiliki tempat yang nyaman untuk beristirahat dan merasa aman.

4. Dukung Pengobatan dan Terapi - Pengobatan dan terapi adalah kunci untuk mengelola skizofrenia. Dorong mereka untuk mengikuti rencana pengobatan yang telah ditetapkan oleh dokter.

Bantu mereka mencari dan menghadiri sesi terapi, serta pastikan mereka mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan dari profesional.

5. Jaga Kesehatan Fisik - Kesehatan fisik yang baik dapat membantu mengurangi gejala skizofrenia. Pastikan mereka mendapatkan nutrisi yang cukup, tidur yang cukup, dan olahraga teratur.

Ajak mereka untuk berjalan-jalan di alam atau melakukan aktivitas fisik ringan yang mereka nikmati.

6. Jangan Ragu Mencari Bantuan Profesional - Jika Anda merasa kesulitan dalam menangani orang dengan skizofrenia, jangan ragu untuk mencari bantuan dari profesional kesehatan mental.

Terapis, psikiater, atau kelompok dukungan dapat memberikan panduan dan dukungan yang Anda butuhkan.

Apa saja gejala awal skizofrenia yang perlu diwaspadai, menurut Bapak Budi Santoso?

Menurut Bapak Budi Santoso, seorang psikolog klinis, gejala awal skizofrenia bisa bervariasi, tetapi yang paling umum adalah perubahan perilaku yang signifikan, seperti menarik diri dari pergaulan, kesulitan berkonsentrasi, dan perubahan pola tidur. Jika Anda melihat tanda-tanda ini pada diri sendiri atau orang terdekat, segera konsultasikan dengan profesional kesehatan mental.

Bagaimana cara terbaik untuk mendukung teman yang didiagnosis skizofrenia katatonik, menurut Ibu Sinta Dewi?

Ibu Sinta Dewi, seorang pekerja sosial yang fokus pada kesehatan mental, menekankan pentingnya dukungan emosional dan praktis. "Yang terpenting adalah hadir untuk mereka, mendengarkan tanpa menghakimi, dan membantu mereka mengakses layanan kesehatan yang mereka butuhkan. Jangan lupakan juga pentingnya menjaga diri sendiri agar tetap kuat dan sabar," ujarnya.

Apakah skizofrenia bisa disembuhkan total, menurut Dokter Ahmad Fauzi?

Dokter Ahmad Fauzi, seorang psikiater terkemuka, menjelaskan bahwa skizofrenia adalah kondisi kronis yang membutuhkan pengelolaan jangka panjang. "Meskipun tidak ada obat yang bisa menyembuhkan total, dengan pengobatan yang tepat, terapi, dan dukungan yang kuat, banyak orang dengan skizofrenia dapat hidup produktif dan memuaskan," katanya.

Apa peran keluarga dalam membantu pemulihan orang dengan skizofrenia, menurut Ibu Ratna Sari?

Menurut Ibu Ratna Sari, seorang aktivis kesehatan mental dan ibu dari seorang penyintas skizofrenia, peran keluarga sangat krusial. "Keluarga adalah garda terdepan dalam memberikan dukungan, cinta, dan pemahaman. Edukasi diri, ciptakan lingkungan yang stabil, dan jangan pernah menyerah untuk membantu mereka mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan," tegasnya.