Preman Pensiun dan Wacana Penghapusan SKCK, Akankah Bebas Melenggang Tanpa Beban Kriminalitas? Mengapa, Bagaimana, dan Apa Dampaknya?
Senin, 14 April 2025 oleh aisyah
Preman Pensiun: Sebuah Refleksi atas Wacana Penghapusan SKCK
Bulan Ramadhan kali ini diwarnai dengan tayangan serial Preman Pensiun yang menarik perhatian. Serial ini sukses meramu drama, komedi, dan realitas sosial seputar kehidupan mantan preman yang berusaha hijrah. Kita diajak menyaksikan perjalanan transformasi mereka yang penuh liku, mulai dari himpitan ekonomi, stigma masyarakat, hingga sulitnya mencari pekerjaan. Kisah mereka seakan mirroring realitas yang dihadapi mantan narapidana di dunia nyata.
Sepulang dari menjalani hukuman, mereka ingin membuka lembaran baru. Sayangnya, label "mantan napi" seringkali menjadi batu sandungan. Usulan penghapusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) oleh Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) kepada Kapolri menjadi perbincangan hangat. Akankah ini menjadi solusi bagi reintegrasi mereka?
Kementerian HAM berargumen, usulan ini bertujuan memberikan kesempatan bagi seluruh warga negara, termasuk mantan narapidana, untuk mendapatkan pekerjaan layak tanpa dibayangi catatan kriminal masa lalu. Bagi sebagian orang, ini angin segar, terutama bagi mantan narapidana. Namun, tak sedikit pula yang mengkritik. Tanpa SKCK, masyarakat dan perusahaan kesulitan mengakses rekam jejak calon pekerja, yang dikhawatirkan meningkatkan risiko kejahatan, terutama di lingkungan kerja.
Lebih dari Sekadar Administrasi
Wacana penghapusan SKCK bukan sekadar persoalan administratif. Ini tentang penerimaan masyarakat terhadap mantan narapidana. Mereka yang ingin berbenah diri seringkali terhambat, baik oleh sistem maupun stigma sosial.
Teori Labelling dari Edwin M. Lemert menjelaskan bagaimana cap atau label yang diberikan masyarakat dapat mendorong seseorang ke perilaku menyimpang. Penyimpangan primer, seperti mencuri, dapat berujung pada label "pencuri". Label yang melekat kuat ini membuat individu melihat dirinya sesuai cap tersebut, sehingga sulit keluar dan berpotensi mengulang penyimpangan.
Preman Pensiun menggambarkan fenomena ini dengan apik. Ada Saep, sang pencopet yang tak kapok meski telah keluar penjara, bahkan mendirikan "Akademi of Bandung Copet". Di sisi lain, ada Agus dan Yayat, mantan penadah motor curian yang berusaha jujur dengan berjualan kopi keliling. Atau Kang Gobang yang berhasil meninggalkan masa lalunya, meski harus bersabar dan melawan stigma negatif.
Masa lalu yang membayangi, keterbatasan pendidikan dan keterampilan, ditambah stigma negatif, menyulitkan mantan preman mendapatkan pekerjaan layak. Mereka berada di persimpangan: tetap jujur atau kembali ke jalan lama. Dilema ini nyata bagi mantan narapidana yang ingin berubah namun terbentur sistem. SKCK, yang seharusnya administratif, justru menjadi tembok penghalang.
Pekerjaan bukan hanya soal ekonomi, tapi juga rehabilitasi sosial. Penghapusan SKCK dapat menjadi solusi, mengurangi pengangguran dan potensi kriminalitas berulang. Namun, kritik tetap muncul. Bagaimana perusahaan menilai calon pekerja tanpa mengetahui latar belakangnya? Bagaimana mencegah kejahatan berulang di tempat kerja?
Mencari Titik Temu
Dibutuhkan solusi yang mengakomodasi semua pihak. Reformasi penerbitan SKCK mungkin lebih tepat daripada penghapusan total. SKCK tetap diperlukan untuk kasus berat seperti korupsi, terorisme, atau kejahatan seksual. Catatan kriminal lainnya bisa dihapus setelah beberapa tahun tanpa pelanggaran baru.
Pelatihan keterampilan, bantuan modal, dan insentif bagi perusahaan yang mempekerjakan mantan narapidana juga perlu. Edukasi masyarakat untuk menerima mereka tak kalah penting. Perubahan sejati butuh dukungan sosial dan kebijakan yang memberi kesempatan kedua. Dengan begitu, tercipta masyarakat inklusif yang memberi ruang bagi setiap orang untuk memperbaiki diri.
Penghapusan SKCK bukan satu-satunya jawaban. Mantan narapidana butuh kesempatan, tapi pengusaha dan masyarakat butuh rasa aman. Solusi terbaik adalah sistem yang adil bagi semua, bukan sekadar menghapus atau mempertahankan SKCK.
Oki Kurniawan, mahasiswa Program Studi Magister Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan Sekolah Pascasarjana UGM
Bagaimana pandangan Ibu Susi Pudjiastuti tentang wacana penghapusan SKCK untuk mantan narapidana?
Sebagai mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, saya melihat usulan ini perlu dikaji secara mendalam. Memberi kesempatan kedua itu penting, tetapi keamanan masyarakat juga prioritas. Perlu ada mekanisme yang tepat agar kebijakan ini tidak disalahgunakan dan tetap melindungi masyarakat dari potensi kejahatan berulang.